Ilustrasi air sungai ciujung yang menghitam
Laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia semakin terus meningkat
bahkan tidak menunjukkan gejala penurunan.
Rantai
kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai, danau, hutan
dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di
kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang
yang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah
mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
hayati.
Faktor-faktor
yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut diantaranya faktor
demografis, etika, social, ekonomi, budaya, hingga faktor institusi dan
politik.
Kebijakan,
rencana dan program pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan
yang telah diluncurkan pemerintah sejak empat dekade lalu, tampak tak
berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran
lingkungan. Salah satu faktor strategic yang menyebabkan terjadinya hal
ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran
lingkungan yang diluncurkan pemerintah (KLH di Pusat, atau Bapedalda
provinsi/kabupaten/kota) cenderung “terlepas” atau “terpisah” dari KRP
pembangunan wilayah dan sektor, tidak menyatu atau tidak terintegrasi.
Implementasi
berbagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, terutama AMDAL,
menunjukkan bahwa meskipun AMDAL sebagai salah satu instrumen
pengelolaan lingkungan cukup efektif dalam memasukkan
pertimbangan-pertimbangan lingkungan alam rancang-bangun proyek-proyek
individual, tapi secara konsep pembangunan menyeluruh, instrumen AMDAL
belum memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan
kumulatif, dampak tidak langsung, dan dampak lingkungan sinergistik.
Apa
yang terjadi di Serang Banten terkait pencemaran sungai Ciujung yang
dilakukan oleh PT. Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) adalah bukti
mandulnya implementasi instrumen pengelolaan lingkungan hidup.
Perusahan
yang sudah jelas-jelas melakukan pembuangan limbah yang menyebabkan
tercemarnya sungai Ciujung tidak ditindak dengan tegas tetapi malah
justru diarahkan agar memperbaiki kesalahannya.
Terlihat
jelas dari Rekomendasi yang dikeluarkan KLH RI yang salah satunya
berbunyi IKPP harus memperkecil kapasitas produksi disaat musim kemarau.
Selain itu, IKPP harus membangun kolam limbah saat musim kemarau atau
saat darurat, dan harus mengoptimalkan kinerja instalasi pengolahan air
limbah (IPAL) agar memenuhi baku mutu.
Rekomendasi
KLH RI jelas-jelas melindungi pengusaha yang telah melakukan
kesalahan/perbuatan yang patut diduga disengaja membuang limbah ke
sungai Ciujung yang mengakibatkan tercemarnya sungai.
Bahkan
adanya upaya mengklasifikasikan sungai Ciujung masuk dalam klasifikasi
kelas 4 padahal sejak sebelum beroprasinya perusahaan (PT. IKPP) sungai
Ciujung dijadikan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga.
Apalagi
jika dikaitkan dengan Program Kali Bersih (PROKASIH) yang diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/VII/1995
tentang Program Kali Bersih yang disahkan pada tanggal 25 Juli 1995.
Program
pengendalian pencemaran air merupakan tools atau alat atau instrumen
yang dikembangkan untuk mengintegrasikan setiap kegiatan menjadi satu
kesatuan instrumen yang digunakan untuk mempercepat proses penaatan,
penurunan beban pencemaran air, dan/atau mutu air sasaran yang telah
ditetapkan.
Hingga
kini masyarakat sekitar sungai Ciujung tidak mengetahui sejauh mana
proses penanganan sungai agar tidak terus dicemari limbah dari
perusahaan yang berasal dari PT. Indah Kiat Pulp & Paper tersebut.
Masyarakat berharap agar sungai Ciujung kembali normal seperti sedia
kala agar warga sekitar dapat memanfaatkan air sungai untuk keperluan
rumah tangga dan lainnya.