Rencana pembangunan tanggul raksasa yang akan dibangun oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta adalah tidak efektif, malah hanya mendatangkan
persoalan baru yang lebih besar.
Pemanasan global menjadi salah satu alasan Pemprov DKI untuk membangun
tanggul raksasa karena akan terjadi peningkatan permukaan air laut.
Kita semua tahu dampak dari pemanasan global yang terjadi akan
mengakibatkan naiknya permukaan air laut, jadi rasanya tidak pas kalau
pemanasan global dijadikan alasan pembangunan tanggul raksasa untuk
menahan ancaman tsunami yang mengancam Jakarta.
Banjir dan tsunami tak akan bisa diatasi dengan pembangunan tanggul.
Sedikitnya ada tiga persoalan yang akan ditimbulkan dari rencana itu
. Untuk mendukung penyelamatan Jakarta dari bahaya banjir rob, tsunami,
serta ancaman abrasi pantai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendaknya
mempertahankan lahan yang tersedia seluas 25 hektare di Muara Angke,
Jakarta Utara, untuk konservasi.
Konservasi ini paling tidak yang bisa mencegah abrasi laut ke darat,
mencegah penurunan daratan, dan pencegah banjir rob. Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta hendaknya jangan hanya melihat pemanfaatan lahan
dari segi peningkatan ekonomi belaka tanpa memperhatikan kerusakan
lingkungan yang akan ditimbulkannya. Pertimbangan lingkungan hidup
seharusnya bisa lebih didorong untuk menjadi kebijakan pokok dan tidak
boleh dilawan dengan perundangan lain.
Isu lingkungan dari sisi perekonomian juga muncul pada Pasal 33 Ayat 4
yang berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Persoalan Jakarta bukan hanya persoalan ancaman banjir rob semata, tapi
juga persoalan swakelola masalah air bersih yang tidak direvitalisasi
dengan baik. Padahal kalau bisa direvitalisasi dengan baik, maka
kebutuhan air masyarakat terpenuhi mengingat potensi 42 danau, 13
sungai, kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar
hingga kapasitas 2 miliar kubik per tahun.
Jika pembangunan tanggul raksasa tetap akan dilaksanakan tanpa
memperdulikan dampak yang akan ditimbulkannya maka tidak dapat
dihindari akan terjadi penumpukan limbah yang dihasilkan warga DKI
Jakarta karena terhambat tanggul. Hal ini akan berpengaruh terhadap
kualitas air bersih yang dihasilkan karena limbah yang menumpuk semakin
pekat dan tidak bercampur dengan air laut. Pada akhirnya akan
menimbulkan endapan-endapan baru dan mendorong pemerintah untuk
melakukan reklamasi yang mengarah pada developer besarlah yang akan
diuntungkan untuk mereklamasi.
Sungguh sangat ironis dan terlihat jelas pertimbangan ekonomi lebih
diutamakan daripada upaya melindungi sumber daya alam dari kerusakan
atau perusakan lingkungan. Celakanya lagi nelayan tradisional
disepanjang pantai Jakarta semakin tersingkirkan dan menambah beban
biaya untuk melaut karena harus berlayar lebih jauh dari daratan untuk
mendapatkan ikan.
Penanganan abrasi pantai memang sulit, tetapi jika masalah abrasi ini
tidak segera ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa
tahun ke depan luas daratan di Indonesia banyak yang akan berkurang.
Bahkan beberapa pulau terancam hilang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar